Ketika
mendengar kata Mendaki gunung, bagi orang awam kegiatan semacam ini
akan mengundang pertanyaan klise, mengapa sih mendaki gunung? Itu kan
kerjaan
orang yang menantang maut, bahkan itu adalah kegiatan yang sia-sia
dan hanya mencari mati saja. Memang tidak salah pandangan seperti
itu, karena semua orang mempunyai jalan pikiran yang berbeda menurut
keinginan atau kehendak masing-masing. Namun yang perlu diketahui
bahwa semua kegiatan yang kita lakukan pasti mengandung resiko.
Bahaya di perkotaan jauh lebih dekat dengan kehidupan kita
sehari-hari. Sebagai contoh setiap hari kita dihadapkan dengan
mobil-mobil dijalan raya yang berseliweran yang siap menyambar nyawa
siapa saja, perampokan atau penodongan dijalan yang mengancam jiwa
kita dan masih banyak lagi, itu semua adalah sekelumit kecil bahwa
ancaman bahaya tidak saja terjadi mereka para pandaki gunung. Justru
mereka yang mati saat mendaki gunung, adalah orang-orang yang
menghargai hidup. Hidup harus lebih dari sekedarnya
.
Seperti
kegiatan petualangan lainnya Mendaki Gunung merupakan sebuah
aktivitas olahraga berat. Kegiatan itu memerlukan kondisi kebugaran
pendaki yang prima. Bedanya dengan olahraga yang lain, mendaki gunung
dilakukan di tengah alam terbuka yang liar, sebuah lingkungan yang
sesungguhnya bukan habitat manusia, apalagi anak kota.
Pendaki
yang baik sadar adanya bahaya yang bakal menghadang dalam
aktivitasnya yang diistilahkan dengan bahaya obyektif dan bahaya
subyektif. Bahaya obyektif adalah bahaya yang datang dari sifat-sifat
alam itu sendiri. Misalnya saja gunung memiliki suhu udara yang lebih
dingin ditambah angin yang membekukan, adanya hujan tanpa tempat
berteduh, kecuraman permukaan yang dapat menyebabkan orang
tergelincir sekaligus berisiko jatuhnya batu-batuan, dan malam yang
gelap pekat. Sifat bahaya tersebut tidak dapat diubah manusia.
Hanya
saja, sering kali pendaki pemula menganggap mendaki gunung sebagai
rekreasi biasa. Apalagi untuk gunung-gunung populer dan “mudah”
didaki, seperti Gede, Pangrango atau Salak. Akibatnya, mereka lalai
dengan persiapan fisik maupun perlengkapan pendakian. Tidak jarang di
antara tubuh mereka hanya berlapiskan kaus oblong dengan bekal
biskuit atau air ala kadarnya.
Meski
tidak dapat diubah, sebenarnya pendaki dapat mengurangi dampak
negatifnya. Misalnya dengan membawa baju hangat dan jaket tebal untuk
melindungi diri dari dinginnya udara. Membawa tenda untuk melindungi
diri dari hujan bila berkemah, membawa lampu senter, dan sebagainya.
Sementara
bahaya subyektif datangnya dari diri orang itu sendiri, yaitu
seberapa siap dia dapat mendaki gunung. Apakah dia cukup sehat, cukup
kuat, pengetahuannya tentang peta kompas memadai (karena tidak ada
rambu-rambu lalu lintas di gunung), dan sebagainya.
Kedua
bahaya itu dapat jauh dikurangi dengan persiapan. Persiapan umum yang
harus dimiliki seorang pendaki sebelum mulai naik gunung antara lain:
1. Membawa
alat navigasi berupa peta lokasi pendakian, peta, altimeter [Alat
pengukur ketinggian suatu tempat dari permukaan laut], atau kompas.
Untuk itu, seorang pendaki harus paham bagaimana membaca peta dan
melakukan orientasi. Jangan sekali-sekali mendaki bila dalam
rombongan tidak ada yang berpengalaman mendaki dan berpengetahuan
mendalam tentang navigasi.
2. Pastikan
kondisi tubuh sehat dan kuat. Berolahragalah
seperti lari atau berenang secara rutin sebelum mendaki.
3. Bawalah
peralatan pendakian yang sesuai. Misalnya jaket anti air atau ponco,
pisahkan pakaian untuk berkemah yang selalu harus kering dengan baju
perjalanan, sepatu karet atau boot (jangan bersendal), senter dan
baterai secukupnya, tenda, kantung tidur, matras.
4. Hitunglah
lama perjalanan untuk menyesuaikan kebutuhan logistik. Berapa
banyak harus membawa beras, bahan bakar, lauk pauk, dan piring serta
gelas. Bawalah
wadah air yang harus selalu terisi sepanjang perjalanan.
5. Bawalah
peralatan medis, seperti obat merah, perban, dan obat-obat khusus
bagi penderita penyakit tertentu.
6. Jangan
malu untuk belajar dan berdiskusi dengan kelompok pencinta alam yang
kini telah tersebar di sekolah menengah atau universitas-universitas.
7. Ukurlah
kemampuan diri. Bila tidak sanggup meneruskan perjalanan, jangan ragu
untuk kembali pulang.
Memang, mendaki gunung memiliki unsur petualangan. Petualangan adalah sebagai satu bentuk pikiran yang mulai dengan perasaan tidak pasti mengenai hasil perjalanan dan selalu berakhir dengan perasaan puas karena suksesnya perjalanan tersebut. Perasaan yang muncul saat bertualang adalah rasa takut menghadapi bahaya secara fisik atau psikologis. Tanpa adanya rasa takut maka tidak ada petualangan karena tidak ada pula tantangan.
Risiko
mendaki gunung yang tinggi, tidak menghalangi para pendaki untuk
tetap melanjutan pendakian, karena Zuckerma menyatakan bahwa para
pendaki gunung memiliki kecenderungan sensation seeking [pemburuan
sensasi] tinggi. Para sensation seeker menganggap dan menerima risiko
sebagai nilai atau harga dari sesuatu yang didapatkan dari sensasi
atau pengalaman itu sendiri. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan
maupun kurang menyenangkan tersebut membentuk self-esteem [kebanggaan
/kepercayaan diri].
Pengalaman-pengalaman
ini selanjutnya menimbulkan perasaan individu tentang dirinya, baik
perasaan positif maupun perasaan negatif. Perjalanan pendakian yang
dilakukan oleh para pendaki menghasilkan pengalaman, yaitu pengalaman
keberhasilan dan sukses mendaki gunung, atau gagal mendaki gunung.
Kesuksesan yang merupakan faktor penunjang tinggi rendahnya
self-esteem, merupakan bagian dari pengalaman para pendaki dalam
mendaki gunung.
Fenomena
yang terjadi adalah apakah mendaki gunung bagi para pendaki merupakan
sensation seeking untuk meningkatkan self-esteem mereka? Selanjutnya,
sensation seeking bagi para pendaki gunung kemungkinan memiliki
hubungan dengan self-esteem pendaki tersebut. Karena pengalaman yang
dialami para pendaki dalam pendakian dapat berupa keberhasilan maupun
kegagalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tilis nama dan email ketika memberi komentar.